Thursday, September 26, 2013

Synopsis of My Autobiografi


Sebagai anak pertama dalam keluarga, Aku dituntut menjadi pribadi yang unggul. Sejak kecil Aku terbiasa dengan lingkungan pendidikan dan agama. Ayahku dengan hidup sehari-hari yang penuh dengan kesederhanaan menyisihkan satu ruangan dirumah untuk menjadi ruang anak-anak dikampung. 

Siang hari ruangan itu menjadi ruang kelas sekolah Agama, dan malam hari ruangan itu menjadi tempat mengaji. Tak heran usia 6 tahun aku sudah bisa membaca Iqra, membaca huruf, menghitung dan menulis .

Sedangkan Mama, begitu kupanggil Ibuku tersayang. Ia membuka warung dibagian depan rumah. meski seadanya, namun warung itu selalu ramai, apalagi jika anak-anak sekolah atau mengaji.

Rumahku yang setengah tembok dan setengah bambu itu selalu ramai, selalu penuh nilai, selalu penuh pelajaran, dan kegembiraan.
Menginjak Sekolah Dasar, tak susah bagiku menjadi murid kebanggaan. 

Aku kecil namun penuh semangat. Setiap pukul enam pagi dibagian depan rumah yang lantainya dari semen,  kupakai sepatu sambil menunggu teman-temanku berangkat ke SDN Gombong, sekolahku. Kami terbiasa berangkat bersama-sama, itu menjadi sebuah kewajiban bagi kami. 

Kendaraan yang kami gunakan hanya kaki kami masing-masing, ya! kami berjalan kaki dengan jarak kurang lebih lima kilo meter dari kampung tempat kami tinggal. Itu alasan kami pergi bersama-sama dan sepagi mungkin. Jalan setapak, ilalang, perkebunan ubi, hutan karet, dan beberapa perkebunan warga lainnya menjadi pemandangan kami setiap
pergi dan pulang sekolah. kalau hujan beda cerita, kami harus siap dengan jalanan yang becek. Tapi itu biasa karena kami selalu siap. Sepatu bisa kami simpan didalam tas bersama buku dan dibungkus plastik, kami bisa memakai sandal jepit selama dijalan.

Jika musim buah, wah itu rezeki bagi kami. Setiap berangkat atau pulang dari sekolah pasti kami membawa bekal buah-buhan yang banyak jatuh dikebun-kebun warga yang kami lewati. Bahkan, sering hasil “Jarahan” kami itu dijual disekolah bersama-sama.

Aku tak lama di SD Gomong, menginjak kelas dua SD orangtuaku membangun kehidupan baru dikampung Cihaur dua, kampung baru kami tinggal. Sementara rumah lama kami di Gandawayang dijual Ayah, entahlah dengan alasan apa rumah kami dijual, aku masih terlalu kecil saat itu higga tak kumengerti.

Padahal, dirumah itu sejuta kenangan melekat dibenaku. Termasuk kenangan saat adik pertamaku pergi untuk selamanya. Namanya Siti Humaidah, saat lahir ada selaput layaknya kerudung yang menutupi kepalanya. Keluarga sangat bahagia dengan kehadirannya, termasuk aku. 

Namun Tuhan tahu yang terbaik untuknya, ia dipanggil kembali menghadap-Nya, dan aku yakin dengan usianya di bumi hanya satu hari ia akan kembali ketempat termulia, surga.
Lama setelah kepergiaannya aku tak punya adik, apalagi saat Ayah harus dioperasi karena sebuah kecelakaan. 

Dokter mengatakan Ayah tak bisa lagi mempunyai anak karena operasi itu. Tapi itu hanya dokter, Tuhan-lah yang maha segalanya. Dan Ayah percaya kepada-Nya. Hingga kurang lebih tujuh tahun kemudian adik ku Muhammad Hildan Firdaos lahir. Tampan dan tentnya kini menginjak kelas dua Madrasah Tsanawiyah dia lebih tinggi dariku. J Belakang setelah aku dewasa, baru aku tahu mengapa rumah lama kami dijual. Tapi itu tetap jadi rahasia keluarga kami.

Dikampung halaman yang baru keadaan cukup membaik. Tak perlu berangkat jam enam karena lokasi sekolahku yang dekat. Dan tak perlu waktu yang lama bagiku menemukan teman-teman baru, dan tentunya prestasi yang baru. Aku tetap membuat keluargaku bangga. Meski dulu aku adalah seorang pendiam.

Sekolah Menengah rupanya menjadi pintu emasku selanjutnya. Aku mulai “Pergi” dari rumah untuk mencoba dunia baru. Selama aku belajar di SMPN 1 Cikakak aku tidak tinggal dirumah, aku tinggal disebuah pesantren dikampung berbeda, bisa kubilang daerah perkotaan dipalabuhanratu, Cimaja nama daerahnya. 

Ya aku sebut itu perkotaan karena setidaknya aku bisa melihat, mendengar banyak kendaraan dan jalan raya yang besar dengan aspal hitam, dan karena aku bisa pergi kesekolah dengan menggunakan Angkot. Wah keren perasaanku waktu itu.

Layaknya siswa di pesantren, aku mulai membiasakan diri bersosialisasi, tidur tanpa kasur dan bantal. Akupun harus masak , nyuci dan melakukan hal-hal lainnya sendiri. Aku yang dulunya tak suka sayuran sudah tak lagi begitu, selama dipesantren menemukan daun katuk mentah dan garam sebagai teman nasi sungguh nikmat, apalagi jika makannya satu wadah bareng-bareng, indah.

Bukan hanya itu, disekolah aku dikenal sebagai siswa aktif dibeberapa kegiatan sekolah. bertemu kawan-kawan dipaskibra dan menjadi Ketua OSIS. Tak ada yang menyangka. Keterampilanku untuk public speaking semakin berkembang bahkan kecintaanku pada dunia sastra dan bahasa membuatku menorehkan beberapa prestasi dan mengharumkan nama sekolahku saat itu. 

Aku pernah menjuarai Story Telling, speech Contest dan Juara menulis sinopsis hingga tingkat Kabupaten Sukabumi. Tak ayal lagi aku mendapatkan basiswa selama sekolah. Tuhan, tinta emas itu kutoreh dengan izinmu sedikit demi sedikit.

Keluargaku juga kembali mendapat kado terindah, ya indah karena aku punya adik laki-laki lagi. Fahmi Idris, pintar bersosialsasi dan pemberani, juga sangat prestatif, begitu ia sekarang di SD nya. Buktinya, setiap ada kawanku yang berkunjung kerumah dia akan mudah mengobrol, dia akan ikut berkumpul denganku dan kawan-kawan, aku senang itulah adiku. 

Dibandingkan adiku yang pertama Hildan yang setiap harinya asik bermain bola dan lebih banyak diam jika bertemu orang baru. Tapi aku tetap bangga dan bahagia dengan karakter mereka dan potensi mereka yang berbeda-beda.
Percaya atau tidak setelah lulus SMP aku masuk sekolah SMK Negeri 1 sukabumi, sekolah pavorit di Kota Sukabumi. Ya betul di Kota sukabumi, artinya aku akan melangkah lebih jauh lagi dari rumah. 

Dengan jarak yang lumayan jauh, aku memang harus tinggal dikosan. Tapi sayangnya aku tidak menemukan kosan, alias kutemukan keluarga disukabumi. Bagaimana tidak kusebut keluarga, Ibu dan Bapak yang punya kosan itu menyediakan kamar didalam rumah mereka khusus untuku, padahal yang lain tinggal di kos-kosan bukan dikamar dalam rumahnya. 

Selama disana aku layaknya anak mereka, bahkan terkadang ketika aku harus ada kegiatan dan pulang malam anaknya yang perempuan selalu mengantar makanan yang Ibu kosan buatkan untuku kesekolah, ah indah jika harus kubayangkan. 

Ya selama tiga tahun aku tinggal disana dengan biaya satu juta per tahun, aneh kan?. Samapai saat ini aku tetap keluarganya, kaka bagi anak-anak nya yang dibawahku dan adik bagi anak-anaknya yang usianya lebih tua dariku.

Meski aku masuk dijurusan yang tidak sesuai dengan potensi dalam diri, namun itulah rencana Tuhan, tak ada yang tak indah. Aku masuk di jurusan Otomotif, ya jurusan yang keras, kotor, bau oli dan penuh dengan angka dan onderdil. 

Sempat untuk menyerah, tapi dukungan dari keluarga untuk meluruskan niat demi menuntut ilmu dan sahabat kelas yang selalu membantuku jadi motivasiku untuk tetap berjuang, ya berjuang agar aku bisa lulus dan melewati perjalanan di otomotif yang bukan duniaku.

Samapi saat ini aku tidak tahu banyak tentang otomotif, dulu aku sering tertidur, pernah juga tamgan terbakar api saat mengelas, kejepit, kesetrum dan lain sebagainya, hingga akhirnya guru-guru disekolahku paham betapa aku harus berjuang keras dalam belajar. Lalu kenapa aku sekolah disana ? aku dapat beasiswa, aku ingat ba’da subuh Ayah mengantarku dengan motornya saat tes disukabumi, aku masih ingat ayah banting tulang untuk mencari biaya demi aku sekolah, dan karena itulah aku bertahan.

Caraku bertahan rupanya Tuhan tunjukan dengan segala bentuk “mutiara jalannya”. Aku terjunkan diri keberbagai kegiatan organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler. Tak heran berbagai prestasi kutoreh. Aku menjadi ketua OSIS disekolah pavorite yang jumlah siswanya lebih dari dua ribu orang, aku memimpin saat itu. 

Aku juga menjuarai Debat Bahasa Inggris hingga menyumbangkan piala yang tinggi dan besarnya melebihi badanku. Aku juga aktif diremaja mesjid dan organisasi kesehatan. Tak heran, aku dapat bersosialisasi dengan banyak orang, dengan guru dengan siswa dengan penjaga sekolah. ya, aku bertahan dengan itu juga. 

Hubunganku dengan setiap orang sangatlah baik, hingga meskipun aku tak ahli dijurusanku sendiri aku tetap dihargai dan nilaiku? Tak ada angka 7 satupun. Bukankah keren ? 
Meski keluargaku sederhana, aku diajarkan oleh kedua orangtuaku untuk tidak mengatakan “Kami miskin” . kami selalu bahagia, kami selalu dicukupi oleh-Nya. 

Hingga kini aku punya adik perempuan Putri Nurazizah, putri kecil bak lentera dan bunga yang menambah kebahagiaan keluarga kami. Diusianya yang menginjak dua tahun ia sudah capak berbicara, bernyayi, menari bahkan membaca doa-doa yang diajarkan mama.

Tak heran setiap minggunya aku bisa bercengkrama dengan adik lucuku ini lewat telepon. Yak lewat telpon, karena kini aku semakin jauh melangkah. Aku semakin jauh pergi, aku kini dikota Bandung. Menorehkan tinta-tinta emasku dengan tertatih dan perjuangan, demi mereka demi keluargaku tersayang.

Tuhan begitu maha segalanya, aku kini ditempatkan didunia yang aku cintai. JURNALISTIK ! akhirnya, aku menikmati bagaimana setiap tetes kaldu kenikmatan yang kuimpikan dulu. Disini aku belajar dengan cinta, dengan senyum dan tekad yang bulat. 

Apalagi saat harus tampil bersama Presenter ternama Tina Talisa secara Live di Indosiar membawakan Fokus Pagi, itu pengalam terhebat. Sangat nyata saat dulu aku dan ayah menonton siaran Tina Talisa di Tv dan aku berkata “Ayah, suatu hari nanti aku yang akan ada di TV itu” dan betapa bahagianya aku bisa membuktikannya pada Ayah. 

Ya saat itu aku menjuarai lomba presenter di Indosiar, aku menang dipenampilan perdanaku didepan kamera. Itu sedikit hadiah untukmu keluargaku. Aku akan tetap berjuang untuk tetap membuat kalian menangis, menangis bahagia dan bangga akan hadirnya aku.

Aku semakin aktif dan menikmati belajar dikota ini. Saat harus terpilih menjadi Duta Muda Transmania Bandung 2012, saat harus menjabat di BEM-J dan BEM-F, saat harus bersosial di komunitas Kita Indonesia, saat harus menjadi 10 besar i SCTV Goes To campus Presenter Competition, aku optimis bahwa jalanku diridhoi olehnya.

Tuhan, mimpiku dan perjuanganku belum selesai. Aku hidup dan selama hidup itulah aku akan berjuang, berjuang menjadi hambamu yang dapat memberi setetes kesejukan dan manfaat bagi keluarga dan orang-orang disekitarku.

Tuhan, perkenalkan aku dengan nama Saepul Hamdi, yang engkau turunkan kebumi pada 2 februari 1993, anak pertama dari Neneng Latifah dan Rahmat Firdaos. Anak yang bercita-cita menjadi seorang presenter berita yang handal dan ternama, anak yang bercita-cita memberdayakan kampung halmannya Pelabuhanratu, anak yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya dan adik-adiknya.  Bimbing selalu disetiap jalan dan langkahku, agar aku menjadi insan mulia. Amin

Terima kasih

1 comments:

  1. memang benar firman Tuhan, bersyukur adalah cara terbaik untuk menjadi bahagia. dan bersyukur pula yang akan menjadi jawaban atas tiap doa yang belum terkabul.

    aku bahagia pernah mengenal pribadi sepertimu, :)

    ReplyDelete