Kondisi ekonomi
keluarga yang cukup tidak menjadi alasan bagi Encep Irvan Nugraha untuk tidak
berwirausaha. Mencoba hidup mandiri dengan berjualan barang-barak elektronik
dan aksesoris Handphone disela-sela
waktu senggang kuliahnya.
Kepiawaiannya berjualan,
imbas pada kemampuannya berkomunikasi. Terbiasa berjualan diberbagai tempat dan
bertemu dengan berbagai orang, membuat Encep mudah bersosialisasi. Termasuk
dekat dengan dosen-dosen dan rekan-rekan kampusnya.
Keuntungan usahanya
yang makin hari makin meningkat membuat pola hidupnya sedikit berbeda dari
rekan-rekan kuliahnya. Meskipun Encep tiggal di pesantren atas dasar kewajban
yang diberlakukan jurusannya untuk mahasiswa baru saat itu.
Encep mampu membeli barang-barang yang berbeda dari rekannya yang lain. Mulai dari membeli meja belajar, alat print, lemari buku, dan barang-barang yang lainnya.
Encep mampu membeli barang-barang yang berbeda dari rekannya yang lain. Mulai dari membeli meja belajar, alat print, lemari buku, dan barang-barang yang lainnya.
“Disaat batur mah hidup sederhana, Saya mah bisa beli lemari buku, printeran, terus meja belajar ah pokonamah beda we,” ungkap Encep sambil menerawang
masa lalunya.
Prestasi belajarnya pun patut diperhitungkan, Laki-laki kelahiran Tasikmalaya 03 juni 1989 yang tercatat sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini pun tak pernah mendapatkan nilai IPK dibawah 3,5 saat itu.
“Bahkan disemester satu
dan dua nilai smester saya mencapai empat” Ujarnya.
Encep lahir dari
keluarga terdidik sebagai anak pertama dari ayah dan ibu yang berstatus sebagai
pengajar dan pendiri yaysan dikampungnya. Ia tampil sebagai sosok lelaki muda
yang percaya diri.
Menjalankan usaha dengan keuntungan sekitar 200 ribu rupiah per hari tanpa mengganggu kegiatan belajarnya. Hal ini tentu saja mudah bagin Encep untuk mendapatkan secara bertahap keinginanannya, termasuk adik kelas perempuannya yang ia jadikan pacar.
Menjalankan usaha dengan keuntungan sekitar 200 ribu rupiah per hari tanpa mengganggu kegiatan belajarnya. Hal ini tentu saja mudah bagin Encep untuk mendapatkan secara bertahap keinginanannya, termasuk adik kelas perempuannya yang ia jadikan pacar.
Kurang lebih tiga tahun
Encep menjalankan usahanya dipuncak kesuksesan, Encep tinggal disebuah
kos-kosan disekitar kampus setelah menjalankan kewajibannya dari jurusan untuk
tinggal di pesantren.
Biaya Satu Juta dari orang tua ditambah penghasilan yang cukup besar dari berjualan rupanya menjadikan Encep sebagai mahasiswa yang mapan secara ekonomi. Betapa hidupnya sejahtera, segalanya tinggal beli.
Biaya Satu Juta dari orang tua ditambah penghasilan yang cukup besar dari berjualan rupanya menjadikan Encep sebagai mahasiswa yang mapan secara ekonomi. Betapa hidupnya sejahtera, segalanya tinggal beli.
Karena selalu membayar
angsuran tepat waktu, Encep menjadi salah satu nasabah kepercayaan pemilik
modal yang meminjamkan uang hingga 14
Juta padanya.
Barang dagangannya ada saja yang membeli setiap hari, sekalipun Encep tak berjualan di luar, ada saja teman atau kenalannya yang memesan barang.
Barang dagangannya ada saja yang membeli setiap hari, sekalipun Encep tak berjualan di luar, ada saja teman atau kenalannya yang memesan barang.
Menginjak smester enam,
Encep mulai sibuk dengan kuliahnya. Tugas-tugas dan jadwal kuliahnya mulai
padat, belum lagi tuntutan kegiatan organisasinya yang memerlukan waktu lebih.
Encep mulai berpikir keras untuk mendapatkan cara agar jualannya tetap berjalan meskipun kesibukan kuliahnya pun meningkat.
Encep mulai berpikir keras untuk mendapatkan cara agar jualannya tetap berjalan meskipun kesibukan kuliahnya pun meningkat.
Peluang itu rupaya
Encep dapatkan setelah berhari-hari berpikir. Ia bertekad untuk berjualan di dalam
kampus. Ya, meskipun selama ini Encep sukses berjualan, namun tak pernah
berjualan dan membuka lapak dagangannya di dalam kampus.
Jika pun ada rekannya yang membeli barang, itu pun hanya memesan atau datang langsung kekosannya.
Jika pun ada rekannya yang membeli barang, itu pun hanya memesan atau datang langsung kekosannya.
Salah satu kawasan pedagang
di dalam kampus saat itu di kenal dengan nama DPR yaitu kepanjangan dari Di bawah
Poohon Rindang. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang rimbun dan sejuk karena
beberapa pohon besar tumbuh di sekitarnya. Di ujung terdapat satu pintu
alternatif keluar masuk kampus.
Di sepanjang trotoar
kawasan DPR tersebut di penuhi para pedagang. Mulai dari pedagang nasi, roti,
buah, es, pedagang bakso, pedagang kaset, pedagang buku dan lain sebagainya.
Sedangkan di luar pintu alternatif itu penuh dengan kios-kios fotocopy, tempat print, warnet, warung dan beberapa pedagang.
Sedangkan di luar pintu alternatif itu penuh dengan kios-kios fotocopy, tempat print, warnet, warung dan beberapa pedagang.
Encep melihat peluang dkawasan
tersebut, rencananya Encep akan membuka lapak dagangannya di sekitar kawasan
DPR yang selalu di penuhi mahasiswa yang nongkrong atau lulu lalang. Tekadnya
bulat dan yakin usahanya akan semakin tumbuh tanpa mengganggu kuliahnya.
Hari itu Encep membawa barang dagangan kekampus menggunakan motor pribadinya. Pakaiannya terlihat santai, hanya memakai kaos berkerah warna coklat kesukaannya, celana bahan warna abu-abu dan sandal warna hitam.
Tepat di jajaran kanan pedagang yang lain. Kalau di lihat
dari pintu alternatif lapaknya di buka di sebelahnya, bisa di bilang pintu
alternatif tersebut menjadi jarak dengan pedagang yang lain.
Harapannya untuk berdagang di dalam kampus rupanya tidak semudah membalikan tangan. Encep ditentang olah para pedagang lama yang sudah berada di sana.
Hari pertama Encep tidak mendapat pertentangan secara langsung, lapak jualannya banyak di kunjungi mahasiswa. Tentu saja laris manis.
Tanpa Encep sadari, beberapa mata menatap sinis padanya. Desas-desus tak enak tentang Encep jadi topik utama di jongko-jongko pedagang yang lain. Perasaan akan berkurangnya pelanggan tertiup menghembus ke dalam pikiran pedagang-pedagang itu. Namun Encep tetap tak sadar.
Hari selanjutnya, Encep
berjualan seperti biasa seusai jam kuliah. Encep ambil barang-barang
dagangannya di kosan. Seperti biasa Encep menggunakan pakaian santai, Cukup
dengan memakai celana training dan
kaos oblong dengan tas soren kecil menempel di pundak kanannya. Nampak tak
seperti mahasiswa.
“saya emang gak mau we keliatan seperti mahasiswa lamun jualan, ah biasa we da niatnage dagang. Setelan nyantai”
tuturnya sambil tertawa renyah.
Namun hari itu rupanya
Encep kedatangan tamu tak di undang. Seorang lelaki dewasa yang Encep tahu
adalah seorang pedagang di kawasan DPR juga.
“Teu Menang Jualan di Dieu Jang,” ucap lelaki itu dengan raut muka
sinis, kemudian berlalu.
Encep hanya tertegun
kemudian tersenyum.
“Padahal pan eta teh lahan umum haritamah” gerutu Encep bernada
sinis.
Hari selanjutnya, bukan
lelaki itu saja tapi sekitar tiga orang pedagang menghampirinya dan menyuruhnya
untuk tidak berjualan di lokasi itu. Muka mereka benar-benar tak enak
dipandang, padahal mereka bukanlah pereman.
“Terang-terangan saya
diusir, kutiluan lamun teu salah mah.
Tapi saya ngalawan we” timpalnya
bercerita.
Encep menghampiri
ketiga pedagang tersebut, Encep menjelaskan bahwa ia tidak mengganggu siapa pun.
Ia hanya ikut berjualan dan tidak mengganggu lahan mereka.
Dengan berhati-hati Encep utarakan maksudnya, meskipun pedagang-pedagang itu bersikukuh Encep tak boleh berjualan akhirnya mereka pergi. Untuk yang kedua kalinya para pedagang itu gagal menciutkan mental Encep.
Dengan berhati-hati Encep utarakan maksudnya, meskipun pedagang-pedagang itu bersikukuh Encep tak boleh berjualan akhirnya mereka pergi. Untuk yang kedua kalinya para pedagang itu gagal menciutkan mental Encep.
Encep memang sudah terlatih berhadapan dengan berbagai macam karakteristik orang. Encep tak takut di usir selama ia benar.
Ia bersikukuh untuk tetap berjualan di lokasi tersebut, ia juga melihat pedagang kaset yang tak memiliki jongko dan hanya membuka lapak seperti dagangannya bisa berjualan di sana.
Kejadian pengusiran
terhadapnya terulang beberapa hari berikutnya, selalu demikian. Di acuhkan, di datangi
dan di suruh pergi tapi Encep tetap berjualan dan tidak menggubris. Bahkan Encep
di usir oleh salah satu satpam di kawasan tersebut.
Encep meyakinkannya bahwa Encep sudah izin kepada satpam Al-Jamiah (Satpam di gedung rektorat kampus). Karena memang Encep kenal dengan Satpam di Al-Jamiah tersebut.
Encep meyakinkannya bahwa Encep sudah izin kepada satpam Al-Jamiah (Satpam di gedung rektorat kampus). Karena memang Encep kenal dengan Satpam di Al-Jamiah tersebut.
Hingga akhirnya para
pedagang di kawasan DPR mendatanginya beramai-ramai bahkan Encep menuturkan pedagang di sana memanggil orang yang di anggap
sebagai ketua pedagang dikawasan tersebut. Adu mulutpun terjadi, bahkan Encep
sempat di jambak kerah bajunya hingga hampir saja terjadi pertikaian.
Kedua belah pihak mulai
naik emosinya. Apalagi Encep yang sudah berhari-hari di usir dari kawasan itu.
Kesabaran encep habis, tangannya di kepal, matanya melotot dan nada bicaranya
tinggi.
Namun Encep hanya sebatas mengeluarkan kata-kata, berargumentasi dan mempertahankan lapak dan haknya. Encep sadar siapa yang dihadapi, mereka jauh lebih tua usia dibandingkan dengannya.
Namun Encep hanya sebatas mengeluarkan kata-kata, berargumentasi dan mempertahankan lapak dan haknya. Encep sadar siapa yang dihadapi, mereka jauh lebih tua usia dibandingkan dengannya.
“Lamun sapantaran geus ditenggeul eta jelema” Encep bercerita.
Rupanya, para pedagang
tersebut tidak tahu bahwa Encep adalah mahasiswa di sana. Mereka berpikir Encep
adalah pedagang pendatang dari luar. Di pertikaian itu Encep berbicara lantang
mengeluarkan argumentasinya.
Encep mengungkapkan bahwa dirinya adalah mahasiswa di kampus tersebut, niatnya hanya mencari nafkah dan tidak mengganggu pedagang yang lain. Encep pun menyayangkan sikap para pedagang yang kurang sopan terhadapnya, padahal usia mereka jauh lebih tua di bandingkan Encep.
Encep mengungkapkan bahwa dirinya adalah mahasiswa di kampus tersebut, niatnya hanya mencari nafkah dan tidak mengganggu pedagang yang lain. Encep pun menyayangkan sikap para pedagang yang kurang sopan terhadapnya, padahal usia mereka jauh lebih tua di bandingkan Encep.
“Pas Saya jelasin bahwa
saya Mahasiswa di UIN, rarepeh eta
pedagang. Saya ge ngomong we sikap mereka nu kurang sopan, padahal
mereka lebih dewasa dari segi usia dibandingkeun saya. Ngalaleos we tos kitu mah,” sambungnya.
Setelah kejadian itu,
tak ada lagi pedagang yang menghampiri Encep, tak ada lagi yang menyuruhnya
pergi, tragedi pengusiran tak lagi Encep temukan. Encep pun mulai membuka
komunikasi. Pedagang kaset di sebelahnya menjadi teman pertama di area
tersebut.
Hubungannya dengan pedagang di jongko-jongko lain pun membaik. Tak jarang saat lapar Encep membeli makanan di jongko pedagang di sekitar DPR yang dulu pernah mengusirnya.
Hubungannya dengan pedagang di jongko-jongko lain pun membaik. Tak jarang saat lapar Encep membeli makanan di jongko pedagang di sekitar DPR yang dulu pernah mengusirnya.
Sekitar beberapa bulan Encep
berjualan dan laku keras. Pelanggannya maasiswa dari berbagai
jurusan. Bahkan
bisa di bilang omsetnya meningkat. Encep pun mampu membayar angsuran pada pemilik
modal yang memberinya pinjaman 14 Juta secara lebih dari bulan-bulan
selanjutnya.
Encep pun mampu belanja barang-barang yang lain demi meengkapi persediaan untuk di jual. Dari mulai alat elektronik, akseoris Handphone, aksesoris perempuan, dan sebagainya.
Encep pun mampu belanja barang-barang yang lain demi meengkapi persediaan untuk di jual. Dari mulai alat elektronik, akseoris Handphone, aksesoris perempuan, dan sebagainya.
Barang-barang
dagangannya memang banyak di buru mahasiswa. Harga yang relatif jauh lebih
murah di banding harga ditoko-toko luar menjadi senjata utamanya. Tak jarang Encep
pun memberi di skon di waktu-waktu tertentu. Dari mulut kemulut tentang barang
murah yang di jualnya menyebar di kalangan mahasiswa.
Encep mulai tergiur
dengan penghasilan yang setiap harinya meningkat. Niat awal berjualan di kampus
agar kuliahnya dapat di lakoni dengan seimbang rupanya hanya sekedar wacana
saja. Di bulan pertama Encep memang masih bisa menyeimbangkan kuliah dan
jualannya.
Namun di bulan berikutnya Encep mulai goyah. Uang yang begitu mengalir dengan mudah di hari-harinya membuat Encep mengubah skala prioritasnya.
Namun di bulan berikutnya Encep mulai goyah. Uang yang begitu mengalir dengan mudah di hari-harinya membuat Encep mengubah skala prioritasnya.
Encep mulai berani
membolos kuliah, tidak mengerjakan tugas-tugasnya. Skala prioritasnya saat itu
adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang dapat Encep hasilkan dan membuatnya
senang. Ya, uang. Encep mulai tergiur dengan penghasilannya yang tiap hari
meningkat.
Encep menambah barang-barang dagangannya untuk dijual. Encep lebih memilih pergi mengambil barang pesanan pelanggannya dibandingkan masuk di jam kuliahnya. Pikirnya, selama kuliah tak pernah membolos, jadi wajar saja sekali-kali membolos.
Encep menambah barang-barang dagangannya untuk dijual. Encep lebih memilih pergi mengambil barang pesanan pelanggannya dibandingkan masuk di jam kuliahnya. Pikirnya, selama kuliah tak pernah membolos, jadi wajar saja sekali-kali membolos.
Namun diluar dugaannya,
tugas-tugas kuliah menumpuk. Teman sekelasnya memberitahu informasi tugas
melalui pesan singkat. Namun tetap saja Encep sekaan tidak mampu untuk memulai
mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, malah dibiarkan menumpuk begitu saja.
“Ah besok deui we, wegah we rarasaan teh” tuturnya.
Hari itu cuaca cukup
mendung, Encep pun sedang kosong jadwal kuliahnya. Rencananya Encep akan
mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk di kosan.
Namun dari pagi hingga menjelang siang ia hanya mengotak ngatik laptopnya, melihat beberapa koleksi film lamanya sambil menikmati rokok batang demi batang. Sedangkan tugasnya, tetap saja tak dikerjakan.
Namun dari pagi hingga menjelang siang ia hanya mengotak ngatik laptopnya, melihat beberapa koleksi film lamanya sambil menikmati rokok batang demi batang. Sedangkan tugasnya, tetap saja tak dikerjakan.
Siang hari rupanya Encep
berubah haluan, tugasnya tetap dibiarkan
menumpuk. Encep mengemas beberapa barang dagangannya ke tas khusus yang
di tempel di motornya.
Juga Encep ikatkan di jok motor beberapa besi yang akan ia pasang di lapaknya. Encep malah berencana pergi ke kampus untuk berjualan.
Juga Encep ikatkan di jok motor beberapa besi yang akan ia pasang di lapaknya. Encep malah berencana pergi ke kampus untuk berjualan.
Hari itu cukup sepi,
tak seperti biasanya pelanggan mengerumuni lapaknya. Encep juga sedikit santai
sambil mengobrol dengan kawan yang ikut nongkrong di lapaknya. Sedangkan cuaca
semakin mendung saja.
Encep tidak bergegas membereskan dagangannya. Ia hanya mengeluarkan sebgaian barang dan sisanya di dalam tas, sisanya lagi di pajang di besi-besi tempat dagangan.
Encep tidak bergegas membereskan dagangannya. Ia hanya mengeluarkan sebgaian barang dan sisanya di dalam tas, sisanya lagi di pajang di besi-besi tempat dagangan.
Tak lama hujan turun,
deras bahkan sangat deras. Encep membawa barang-barangnya kesalah satu tempat
berteduh. Seperti gazebo namun lebih kecil, entahlah fungsinya untuk apa namun Encep
menggunakannya untuk menyelamatkan barang dagangan dari air hujan.
Letaknya tak jauh dari lokasi Encep membuka lapak, bahkan bersebelahan dengan pintu alternatif keluar masuk kampus.
Letaknya tak jauh dari lokasi Encep membuka lapak, bahkan bersebelahan dengan pintu alternatif keluar masuk kampus.
Belum sempat Encep
merapikan barang-barang yang di pajang, angin beserta hujan secara bersamaan
menerpa dagangan Encep yang tersisa. Barang dagangannya terhempas dan basah
terkena air hujan. Bahkan beberapa diantaranya terendam oleh genangan air.
Encep panik bukan mai, tanpa pikir panjang ia mencoba menyelamatkan satu persatu barang-barangnya yang terhempas. Namun sayang barang-barangnya sudah basah kuyup, kotor dan kemasannya rusak.
Encep panik bukan mai, tanpa pikir panjang ia mencoba menyelamatkan satu persatu barang-barangnya yang terhempas. Namun sayang barang-barangnya sudah basah kuyup, kotor dan kemasannya rusak.
Mendapat kejadian yang
seketika itu, Encep semakin panik dan kesal. Tanpa ia sadari barang-barang
dagangan yang ia simpan di tas dan diletakan di gazebo kecil tadi rupanya
terkena guyuran air hujan yang tertiup angin. Hingga semua barang dagangannya
basah kuyup.
Sekujur tubuh Encep
basah kuyup. Setelah mengumpulkan semua
barang yang terhempas dan
terendam air Encep tertegun dan berdiri digazebo
kecil yang juga basah saat itu. Pikirannya melayang entah kemana.
Kepanikannya berubah menadi sesuatu yang menyeramkan dipikirannya. Bayang-bayang akan barang-barang dagangan yang rusak dan harus menanggung kerugian jutaan rupiah terbesit dipikirannya.
Kepanikannya berubah menadi sesuatu yang menyeramkan dipikirannya. Bayang-bayang akan barang-barang dagangan yang rusak dan harus menanggung kerugian jutaan rupiah terbesit dipikirannya.
Mata Encep menerawang
tak pasti, memukul-mukul tangan ke kepalanya, terkadang ia menutup mukanya
dengan kedua telapak tangannya.
Perasaannya campur aduk, pikirannya tak fokus. Petir dan Guntur yang menggelegar seakan benar-benar di tujukan untuknya. Kerugian benar-benar kerugian yang ada dalam bayangannya.
Perasaannya campur aduk, pikirannya tak fokus. Petir dan Guntur yang menggelegar seakan benar-benar di tujukan untuknya. Kerugian benar-benar kerugian yang ada dalam bayangannya.
Dengan tenaga seadanya,
Encep bergegas pulang kekosan membawa barang-barangnya yang basah. Sesampainya
dikosan ia gelarkan semua barang dagangannya di lantai.
Kosannya memiliki ruang tengah yang cukup besar, dari pintu masuk hingga ujung pintu dalam ia tumpahkan barang-barangnya.
Matanya sayu melihat semua barang dagangan yang digelar dilantai basah kuyup, kotor dan kemasan yang sudah tak utuh, raut semangat seakan hilang seketika dan pikirannya benar-benar tak terarah.
Kosannya memiliki ruang tengah yang cukup besar, dari pintu masuk hingga ujung pintu dalam ia tumpahkan barang-barangnya.
Matanya sayu melihat semua barang dagangan yang digelar dilantai basah kuyup, kotor dan kemasan yang sudah tak utuh, raut semangat seakan hilang seketika dan pikirannya benar-benar tak terarah.
Tak ada yang Encep
lakukan, ia duduk tersungkur membayangkan berapa banyak barang dagangan yang
rusak dan kerugian yang harus di alaminya. Bayang-bayang mengembalikan biaya
angsuran kepada pemilik modal mulai perlahan menghampirinya. Encep merasa
benar-benar di tampar secara tiba-tiba.
Satu hari, dua hari,
satu minggu, bahkan berminggu-minggu Encep diamkan saja barang-barangnya
berserakan di lantai. Tak ada yang di sentuhnya, tak ada yang di rapihkannya.
Hidupnya mulai tidak teratur, pekerjaannya setiap hari hanya menyendiri, makan,
minum, tidur dan begitu terus begitu.
Keuangannya mulai menipis, Encep tak lagi dapat menghasilan pundi-pundi rupiah. Betapa jiwanya tergoncang hebat. Apalagi setelah Encep tahu menanggung kerugian hingga Tujuh Juta dari tragedi tersebut.
Teman satu-satunya saat
itu adalah laptop, bermain game, nonton film, dan bermalas-malasan menjadi
akivitas barunya. Tak cupuk samapi disana, kuliahnya pun benar-benar
terbengkalai total.
Ia tak ada niat sedikitpun untuk pergi ke kampus. Bahkan hanya sekedar bersosialisasi dengan orang di luar kosannya pun Encep enggan melakukan.
Kondisi Encep semakin hari semakin tidak membaik, Encep bukan lagi sosok yang bersemangat belajar, bukan lagi sosok yang gesit dan penuh semangat.
Ia tak ada niat sedikitpun untuk pergi ke kampus. Bahkan hanya sekedar bersosialisasi dengan orang di luar kosannya pun Encep enggan melakukan.
Kondisi Encep semakin hari semakin tidak membaik, Encep bukan lagi sosok yang bersemangat belajar, bukan lagi sosok yang gesit dan penuh semangat.
Tingkat frustasi dan stresnya meningkat, di waktu bersamaan pacar yang ia sayangi meminta untuk putus. Tidak hanya itu tuntutan membayar kosan dan hutang yang harus Encep bayar sebanyak Tujuh Juta pada pemilik modal menjadi beban pikiran yang benar-benar membelenggunya.
“Saya benar-benar down. Kerjaan saya tiap hari hanya
bermalas-malasan. Untuk bersosialisasi saja
saya bener-bener males” tuturnya
dengan nada rendah.
Sudah hampir dua bulan Encep
tetap tidak membaik. Kamarnya berantakan, cucian dimana-mana, piring dan gelas
kotor berserakan di kamarnya. Hidupnya seketika berubah.
Kotak masuk di Handphonenya penuh dengan pesan,
beberapa diantaranya pesan dari teman-teman sekelasnya bahkan dari beberapa
dosen. Namun semangat Encep unutk kuliah seketika menghilang, ia benar-benar
menghilang di bangku kelasnya.
Malam itu Encep mulai
membereskan beberapa barang. Ia memilah dan memilih serta mengecek kondisi
beberapa barang dagangannya.
Untunglah, beberapa diantaranya masih bisa diselamatkan, namun tak sedikit yang sudah penuh karat karena di diamkan berbulan-bulan.
Untunglah, beberapa diantaranya masih bisa diselamatkan, namun tak sedikit yang sudah penuh karat karena di diamkan berbulan-bulan.
Encep berencana untuk
bangkit, bangkit dari keterpurukan dan musibah yang menimpanya. Namun tetap
saja, setelah sebagian barang Encep pisahkan niatnya untuk berjualan kembali
menciut.
Namun Encep tak bisa
terus ada dalam kondisi yang demikian terlalu lama. Uang simpanannya habis,
sementara pemilik kosan menagih bayarannya, pemilik modal menagih hutangnya dan
perutnya menagih untuk diisi.
Encep mulai menawarkan
barang-barang yang masih bisa di selamatkan kepada teman-temannya, beberapa
Encep titipkan di toko-toko tempat ia dulu menitipkan barang untuk di jual.
Beberapa barang yang kemasannya rusak Encep jual dengan harga murah, bahkan beberapa lainnya ia jual dengan setengah harga.
Beberapa barang yang kemasannya rusak Encep jual dengan harga murah, bahkan beberapa lainnya ia jual dengan setengah harga.
Setidaknya satu hari Encep
harus menjual barang satu jenis kepada siapa saja, demi memenuhi kebutuhannya,
terutama kebutuhannya untuk makan dan minum. Itu yang ia lakukan beberapa
waktu, jika di rasa persediaan uang menipis ia mencari pelanggan melalui
temannya.
“entahlah, susah untuk
bergerak. Apalagi perasaan disini nih” tuturnya sambil menunjuk kearah dadanya.
Musibah dan Kondisi
yang Encep alami tak berani di adukan
pada Ayah dan Ibunya. Bagi Encep saat itu cukup jadi beban sendiri, untunglah
orang tuanya masih rutin memberikan uang jajan setiap bulannya.
Namun kriman uang yang
dulu terlihat besar, saat itu
menjadi terlihat kecil dan kurang.
Kiriman Satu Juta dari orang tuanya Encep gunakan untuk membayar keperluan dan
hutangnya.
500 ribu Encep gunakan untuk membayar sisa hutang pada pemilik modal setiap bulannya, 300 ribu ia gunakan untuk membayar kosannya, dan sisanya 200 ribu Ia gunakan untuk keperluannya sehari-hari. Tentu saja itu tidak cukup bagi Encep.
500 ribu Encep gunakan untuk membayar sisa hutang pada pemilik modal setiap bulannya, 300 ribu ia gunakan untuk membayar kosannya, dan sisanya 200 ribu Ia gunakan untuk keperluannya sehari-hari. Tentu saja itu tidak cukup bagi Encep.
Kondisi yang buruk
tersebut tidak membuat Encep mudah bangkit, keseringannya bercengkrama dengan
laptop membuatnya menemukan kebiasaan baru yaitu main “Game Online”.
Siang dijadikan malam, dan malam Ia jadikan siang.
Kuliah sudah tak Encep pikirkan, berjualan sudah tak ia hiraukan. Yang terpenting baginya saat itu
bisa makan dan minum mengandalkan uang dari orang tuanya.
Pagi itu di kosan Encep
ramai, banyak tamu dan keluarga datang. Namun bukan untuknya, melainkan untuk
teman-teman yang saat itu melaksanakan wisuda.
Hari itu juga harusnya Encep
menggunakan toga, menerima bunga dan foto bersama Ayah dan Ibunya. Hatinya
teriris, jangankan untuk menyelesaikan skripsi, banyak kuliah yang
terbengkalian dan banyak yang harus ia susul. Kondisinya jiwa Encep benar-benar
terpuruk saat itu.
Lambat laun Encep tak
sanggup menghadapi kondisi dirinya sendirian, Ia mulai memberitahukan kedua
orang tuanya. Namun apa yang Encep dapatkan? Orang tuanya begitu kecewa, uang
transferan yang biasa di kirim satu juta dikurangi jumlahnya menjadi 800 ribu.
Encep hanya di berikan motivasi untuk bangkit dan bisa menata hidupnya. Terkadang Ayahnya datang mengunjunginya ke kosan, membawakan makanan dari rumah.
Setidaknya perhatian itu mampu membangkitkan sedikit demi sediit semangat hidupnya.
Encep hanya di berikan motivasi untuk bangkit dan bisa menata hidupnya. Terkadang Ayahnya datang mengunjunginya ke kosan, membawakan makanan dari rumah.
Setidaknya perhatian itu mampu membangkitkan sedikit demi sediit semangat hidupnya.
Hari itu ia sudah rapi,
berniat untuk memulai harinya kembali ke kampus. Namun itu hanya bertahan
kurang lebih satu minggu saja. Selama Encep kembali kekampus ia benar-benar
tidak menemukan semangat belajar, hilang entah kemana.
Ia menghabiskan
waktunya kembali di kosan dengan kebiasaan burukya, setiap hari ia main Game Online, pola makan dan tidur
kembali tak teratur.
Sedangkan barag dagangan sudah habis dan tak ada lagi yang harus dijual, beberapa di antaranya menjadi sampah dan menumpuk di pojok kosannya.
Sedangkan barag dagangan sudah habis dan tak ada lagi yang harus dijual, beberapa di antaranya menjadi sampah dan menumpuk di pojok kosannya.
Kondisinya semakin buruk, setiap hari Encep di tagih oleh pemilik modal karena sudah tidak bisa membayar tepat waktu lagi, bahkan menunggak. Begitupun kosan yang selalu menunggak.
Encep kelimpungan, namun tetap saja kebiasaanna bermain Game Online menjadi kebiasaan dihari-harinya. Seakan tak ada beban, seakan semuanya dapat di laluinya dengan mudah.
Malam itu Encep di datangi
Bapak kosan, ia hanya tertegun dan memohon untuk di berikan waktu tambahan
selagi ia tak punya uang. Bapak kosan pun memberinya waktu tambahan, namun Encep
teap saja tak bisa memenuhi untuk membayar kosannya hingga batas waktu yang di
sepakati.
Tekanan yang baru Encep
sadari sekarang membuatnya terpaksa
berpikir. Encep menemukan temannya yang siap menampung selagi Ia tak punya
uang, namun sayang sikap Encep seperti bermain petak umpet.
Encep tak ada di kosan jika bapak kosan sedang di rumah, dan dia akan ke kosan jika bapak kosan kerja. Berkali-kali pemilik kosan datang dan menanyakan keberadaan Encep, namun tak ada yang tahu.
Encep tak ada di kosan jika bapak kosan sedang di rumah, dan dia akan ke kosan jika bapak kosan kerja. Berkali-kali pemilik kosan datang dan menanyakan keberadaan Encep, namun tak ada yang tahu.
Encep memindahkan
beberapa barang-barangnya entah kemana, setiap jam enam pagi saat pemilik kosan
sudah berangkat kerja ia datang. Encep kemas beberapa barangnya dan di bawa
keluar. Begitu setiap harinya.
Sedangkan pemilik kosan semakin kesal dengan ulah Encep. Tak ada bahasa ataupun pembicaraan sebelumnya. Pemilik kosan menyangka Encep akan kabur tanpa membayar biaya kosan selama sebulan terakhir.
Sedangkan pemilik kosan semakin kesal dengan ulah Encep. Tak ada bahasa ataupun pembicaraan sebelumnya. Pemilik kosan menyangka Encep akan kabur tanpa membayar biaya kosan selama sebulan terakhir.
“Saya mah sieun manehna kabur” ujar pemilik kosan bernada tinggi.
Batas kesabaran pemilik
kosan rupanya sudah habis. Beberapa barang-barang Encep di pindahkan keluar.
Motor, buku, lemari, dan sebagainya.
Malam itu Encep datang
kekosan, bertemu dengan pemilik kosan yang sudah memasang wajah marah. Encep
meminta maaf dan akan segera meninggalkan kosan. Ia juga meminta maaf tidak
bisa membayar kosan di bulan terakhir.
Meskipun awalnya pemilik kosan marah namun ia mengikhlaskan asalkan Encep dapat membawa barang-barangnya segera.
Meskipun awalnya pemilik kosan marah namun ia mengikhlaskan asalkan Encep dapat membawa barang-barangnya segera.
Hutang Encep kini
tinggal empat juta kepada pemilik modal, orang tuanya ikut membantu Encep
membayar hutang-hutangnya. Kini Encep mulai kembali aktivitas kuliahnya, ia mulai
membenahi hidupnya.
Kini Encep juga dibantu Ayahnya untuk mengajar disalah satu sekolah di daerah Antapani Bandung.
Kini Encep juga dibantu Ayahnya untuk mengajar disalah satu sekolah di daerah Antapani Bandung.
Meskipun kondisi
jiwanya belum semuh total, sang ayah terus mendukung dan mendorong Encep untuk
bangkit dan menjadi lebih baik.
“Bapak mah niti cep, lamu katarima ngajar di ditu tong ngerakeun bapak.
Sing bener-bener” suara
ayah Encep lirih saat keduanya berbincang di kosan.
Pagi sekali Encep sudah
rapi. Sepertinya hari itu pertama kali lagi ia mandi pagi. Menggunakan kemeja
hitam dan celana bahan abu-abu.
Rambutnya disisir rapi, sedikit bersih dari biasanya. Ia duduk di depan pintu keluar sambil menyemir sepasang sepatu kulitnya yang sudah penuh abu.
Rambutnya disisir rapi, sedikit bersih dari biasanya. Ia duduk di depan pintu keluar sambil menyemir sepasang sepatu kulitnya yang sudah penuh abu.
“doakan saya, saya mau
testing buat ngajar” ujarnya sambil tersenyum.
Perjalanan seorang Encep
memang tidak mudah untuk menemukan titik untuk bangkit. Dorongan dari kedua
orang tuanya sangat berpengaruh, terutama sosok ayah di mata Encep. Saat ini Encep
pun mulai mengikrarakan keinginannya untuk berubah dan merajut hidupnya lebih
baik.
Perlahan namun pasti itu yang kini jadi komitmennya. Ia sadar apa yang sudah di lakukan dan dilaluinya beberapa waktu yang lalu harus menjadi pelajaran yang ia ambil hikmahnya.
Ia sadar bahwa Tuhan sedang mengujinya, Ia sadar bahwa hidup memang sejatinya adalah pilihan dan perjuangan.
Perlahan namun pasti itu yang kini jadi komitmennya. Ia sadar apa yang sudah di lakukan dan dilaluinya beberapa waktu yang lalu harus menjadi pelajaran yang ia ambil hikmahnya.
Ia sadar bahwa Tuhan sedang mengujinya, Ia sadar bahwa hidup memang sejatinya adalah pilihan dan perjuangan.
“Saya harus bangkit,
saya harus mulai benahi hati saya. Saya dapat tawaran mengajar dari link Bapak sih, tapi mudah-mudahan saja
jadi jalan terbaik untuk saya” Ujar Encep lirih.
0 comments:
Post a Comment