Sunday, December 22, 2013

Titik Nol


Kondisi ekonomi keluarga yang cukup tidak menjadi alasan bagi Encep Irvan Nugraha untuk tidak berwirausaha. Mencoba hidup mandiri dengan berjualan barang-barak elektronik dan aksesoris Handphone disela-sela waktu senggang kuliahnya. 

Kepiawaiannya berjualan, imbas pada kemampuannya berkomunikasi. Terbiasa berjualan diberbagai tempat dan bertemu dengan berbagai orang, membuat Encep mudah bersosialisasi. Termasuk dekat dengan dosen-dosen dan rekan-rekan kampusnya.

Keuntungan usahanya yang makin hari makin meningkat membuat pola hidupnya sedikit berbeda dari rekan-rekan kuliahnya. Meskipun Encep tiggal di pesantren atas dasar kewajban yang diberlakukan jurusannya untuk mahasiswa baru saat itu. 

Encep mampu membeli barang-barang yang berbeda dari rekannya yang lain. Mulai dari membeli meja belajar, alat print, lemari buku, dan barang-barang yang lainnya.


“Disaat batur mah hidup sederhana, Saya mah bisa beli lemari buku, printeran, terus meja belajar ah pokonamah beda we,” ungkap Encep sambil menerawang  masa lalunya.

Prestasi belajarnya pun patut diperhitungkan, Laki-laki kelahiran Tasikmalaya 03 juni 1989 yang tercatat sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini pun tak pernah mendapatkan nilai IPK dibawah 3,5 saat itu.

“Bahkan disemester satu dan dua nilai smester saya mencapai empat” Ujarnya.
Encep lahir dari keluarga terdidik sebagai anak pertama dari ayah dan ibu yang berstatus sebagai pengajar dan pendiri yaysan dikampungnya. Ia tampil sebagai sosok lelaki muda yang percaya diri. 

Menjalankan usaha dengan keuntungan sekitar 200 ribu rupiah per hari tanpa mengganggu kegiatan belajarnya. Hal ini tentu saja mudah bagin Encep untuk mendapatkan secara bertahap keinginanannya, termasuk adik kelas perempuannya yang ia jadikan pacar.

Kurang lebih tiga tahun Encep menjalankan usahanya dipuncak kesuksesan, Encep tinggal disebuah kos-kosan disekitar kampus setelah menjalankan kewajibannya dari jurusan untuk tinggal di pesantren. 

Biaya Satu Juta dari orang tua ditambah penghasilan yang cukup besar dari berjualan rupanya menjadikan Encep sebagai mahasiswa yang mapan secara ekonomi. Betapa hidupnya sejahtera, segalanya tinggal beli.

Karena selalu membayar angsuran tepat waktu, Encep menjadi salah satu nasabah kepercayaan pemilik modal yang meminjamkan uang  hingga 14 Juta padanya. 

Barang dagangannya ada saja yang membeli setiap hari, sekalipun Encep tak berjualan di luar, ada saja teman atau kenalannya yang memesan barang.

Menginjak smester enam, Encep mulai sibuk dengan kuliahnya. Tugas-tugas dan jadwal kuliahnya mulai padat, belum lagi tuntutan kegiatan organisasinya yang memerlukan waktu lebih. 

Encep mulai berpikir keras untuk mendapatkan cara agar jualannya tetap berjalan meskipun kesibukan kuliahnya pun meningkat.

Peluang itu rupaya Encep dapatkan setelah berhari-hari berpikir. Ia bertekad untuk berjualan di dalam kampus. Ya, meskipun selama ini Encep sukses berjualan, namun tak pernah berjualan dan membuka lapak dagangannya di dalam kampus. 

Jika pun ada rekannya yang membeli barang, itu pun hanya memesan atau datang langsung kekosannya.

Salah satu kawasan pedagang di dalam kampus saat itu di kenal dengan nama DPR yaitu kepanjangan dari Di bawah Poohon Rindang. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang rimbun dan sejuk karena beberapa pohon besar tumbuh di sekitarnya. Di ujung terdapat satu pintu alternatif keluar masuk kampus.

Di sepanjang trotoar kawasan DPR tersebut di penuhi para pedagang. Mulai dari pedagang nasi, roti, buah, es, pedagang bakso, pedagang kaset, pedagang buku dan lain sebagainya. 

Sedangkan di luar pintu alternatif  itu penuh dengan kios-kios fotocopy, tempat print, warnet, warung dan beberapa pedagang.

Encep melihat peluang dkawasan tersebut, rencananya Encep akan membuka lapak dagangannya di sekitar kawasan DPR yang selalu di penuhi mahasiswa yang nongkrong atau lulu lalang. Tekadnya bulat dan yakin usahanya akan semakin tumbuh tanpa mengganggu kuliahnya.

Hari itu Encep membawa barang dagangan  kekampus menggunakan motor  pribadinya. Pakaiannya terlihat santai, hanya memakai kaos berkerah warna coklat kesukaannya, celana bahan warna abu-abu dan sandal warna hitam.

Tepat  di jajaran kanan pedagang yang lain. Kalau di lihat dari pintu alternatif lapaknya di buka di sebelahnya, bisa di bilang pintu alternatif tersebut menjadi jarak dengan pedagang yang lain.

Harapannya untuk berdagang di dalam kampus rupanya tidak semudah membalikan tangan. Encep ditentang olah para pedagang lama yang sudah berada di sana.

Hari pertama Encep tidak mendapat pertentangan secara langsung, lapak jualannya banyak di kunjungi mahasiswa. Tentu saja laris manis.

Tanpa Encep sadari, beberapa mata menatap sinis padanya. Desas-desus tak enak tentang Encep  jadi topik utama di  jongko-jongko pedagang yang lain. Perasaan akan berkurangnya pelanggan tertiup menghembus ke dalam pikiran pedagang-pedagang itu. Namun Encep tetap tak sadar.

Hari selanjutnya, Encep berjualan seperti biasa seusai jam kuliah. Encep ambil barang-barang dagangannya di kosan. Seperti biasa Encep menggunakan pakaian santai, Cukup dengan memakai celana training dan kaos oblong dengan tas soren kecil menempel di pundak kanannya. Nampak tak seperti mahasiswa.

“saya emang gak mau we keliatan seperti mahasiswa lamun jualan, ah biasa we da niatnage dagang. Setelan nyantai” tuturnya sambil tertawa renyah.

Namun hari itu rupanya Encep kedatangan tamu tak di undang. Seorang lelaki dewasa yang Encep tahu adalah seorang pedagang di kawasan DPR juga.

Teu Menang Jualan di Dieu Jang,” ucap lelaki itu dengan raut muka sinis, kemudian berlalu.

Encep hanya tertegun kemudian tersenyum.

Padahal pan eta teh lahan umum haritamah” gerutu Encep bernada sinis.

Hari selanjutnya, bukan lelaki itu saja tapi sekitar tiga orang pedagang menghampirinya dan menyuruhnya untuk tidak berjualan di lokasi itu. Muka mereka benar-benar tak enak dipandang, padahal mereka bukanlah pereman.

“Terang-terangan saya diusir, kutiluan lamun teu salah mah. Tapi saya ngalawan we” timpalnya bercerita.

Encep menghampiri ketiga pedagang tersebut, Encep menjelaskan bahwa ia tidak mengganggu siapa pun. Ia hanya ikut berjualan dan tidak mengganggu lahan mereka. 

Dengan berhati-hati Encep utarakan maksudnya, meskipun pedagang-pedagang itu bersikukuh Encep tak boleh berjualan akhirnya mereka pergi. Untuk yang kedua kalinya para pedagang itu gagal menciutkan mental Encep.

Encep memang sudah terlatih berhadapan dengan berbagai macam karakteristik orang. Encep tak takut di usir selama ia benar. 

Ia bersikukuh untuk tetap berjualan di lokasi tersebut, ia juga melihat pedagang kaset yang tak memiliki jongko dan hanya membuka lapak seperti dagangannya bisa berjualan di sana.

Kejadian pengusiran terhadapnya terulang beberapa hari berikutnya, selalu demikian. Di acuhkan, di datangi dan di suruh pergi tapi Encep tetap berjualan dan tidak menggubris. Bahkan Encep di usir oleh salah satu satpam di kawasan tersebut. 

Encep meyakinkannya bahwa Encep sudah izin kepada satpam Al-Jamiah (Satpam di gedung rektorat kampus). Karena memang Encep kenal dengan Satpam di Al-Jamiah tersebut.

Hingga akhirnya para pedagang di kawasan DPR mendatanginya beramai-ramai bahkan Encep menuturkan  pedagang di sana memanggil orang yang di anggap sebagai ketua pedagang dikawasan tersebut. Adu mulutpun terjadi, bahkan Encep sempat di jambak kerah bajunya hingga hampir saja terjadi pertikaian.

Kedua belah pihak mulai naik emosinya. Apalagi Encep yang sudah berhari-hari di usir dari kawasan itu. Kesabaran encep habis, tangannya di kepal, matanya melotot dan nada bicaranya tinggi. 

Namun Encep hanya sebatas mengeluarkan kata-kata, berargumentasi dan mempertahankan lapak dan haknya. Encep sadar siapa yang dihadapi, mereka jauh lebih tua usia dibandingkan dengannya.

Lamun sapantaran geus ditenggeul eta jelema” Encep bercerita.

Rupanya, para pedagang tersebut tidak tahu bahwa Encep adalah mahasiswa di sana. Mereka berpikir Encep adalah pedagang pendatang dari luar. Di pertikaian itu Encep berbicara lantang mengeluarkan argumentasinya. 

Encep mengungkapkan bahwa dirinya adalah mahasiswa di kampus tersebut, niatnya hanya mencari nafkah dan tidak mengganggu pedagang yang lain. Encep pun menyayangkan sikap para pedagang yang kurang sopan terhadapnya, padahal usia mereka jauh lebih tua di bandingkan Encep.

“Pas Saya jelasin bahwa saya Mahasiswa di UIN, rarepeh eta pedagang. Saya ge ngomong we sikap mereka nu kurang sopan, padahal mereka lebih dewasa dari segi usia dibandingkeun saya. Ngalaleos we tos kitu mah,” sambungnya.

Setelah kejadian itu, tak ada lagi pedagang yang menghampiri Encep, tak ada lagi yang menyuruhnya pergi, tragedi pengusiran tak lagi Encep temukan. Encep pun mulai membuka komunikasi. Pedagang kaset di sebelahnya menjadi teman pertama di area tersebut. 

Hubungannya dengan pedagang di jongko-jongko lain pun membaik. Tak jarang saat lapar Encep membeli makanan di jongko pedagang di sekitar DPR yang dulu pernah mengusirnya.

Sekitar beberapa bulan Encep berjualan dan laku keras. Pelanggannya maasiswa dari berbagai 
jurusan. Bahkan bisa di bilang omsetnya meningkat. Encep pun mampu membayar angsuran pada pemilik modal yang memberinya pinjaman 14 Juta secara lebih dari bulan-bulan selanjutnya. 

Encep pun mampu belanja barang-barang yang lain demi meengkapi persediaan untuk di jual. Dari mulai alat elektronik, akseoris Handphone, aksesoris perempuan, dan sebagainya.

Barang-barang dagangannya memang banyak di buru mahasiswa. Harga yang relatif jauh lebih murah di banding harga ditoko-toko luar menjadi senjata utamanya. Tak jarang Encep pun memberi di skon di waktu-waktu tertentu. Dari mulut kemulut tentang barang murah yang di jualnya menyebar di kalangan mahasiswa.

Encep mulai tergiur dengan penghasilan yang setiap harinya meningkat. Niat awal berjualan di kampus agar kuliahnya dapat di lakoni dengan seimbang rupanya hanya sekedar wacana saja. Di bulan pertama Encep memang masih bisa menyeimbangkan kuliah dan jualannya. 

Namun di bulan berikutnya Encep mulai goyah. Uang yang begitu mengalir dengan mudah di hari-harinya membuat Encep mengubah skala prioritasnya. 

Encep mulai berani membolos kuliah, tidak mengerjakan tugas-tugasnya. Skala prioritasnya saat itu adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang dapat Encep hasilkan dan membuatnya senang. Ya, uang. Encep mulai tergiur dengan penghasilannya yang tiap hari meningkat. 

Encep menambah barang-barang dagangannya untuk dijual. Encep lebih memilih pergi mengambil barang pesanan pelanggannya dibandingkan masuk di jam kuliahnya. Pikirnya, selama kuliah tak pernah membolos, jadi wajar saja sekali-kali membolos.

Namun diluar dugaannya, tugas-tugas kuliah menumpuk. Teman sekelasnya memberitahu informasi tugas melalui pesan singkat. Namun tetap saja Encep sekaan tidak mampu untuk memulai mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, malah dibiarkan menumpuk begitu saja.

Ah besok deui we, wegah we rarasaan teh” tuturnya.

Hari itu cuaca cukup mendung, Encep pun sedang kosong jadwal kuliahnya. Rencananya Encep akan mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk di kosan. 

Namun dari pagi hingga menjelang siang ia hanya mengotak ngatik laptopnya, melihat beberapa koleksi film lamanya sambil menikmati rokok batang demi batang. Sedangkan tugasnya, tetap saja tak dikerjakan.

Siang hari rupanya Encep berubah haluan, tugasnya tetap dibiarkan  menumpuk. Encep mengemas beberapa barang dagangannya ke tas khusus yang di tempel di motornya. 

Juga Encep ikatkan di jok motor beberapa besi yang akan ia pasang di lapaknya. Encep malah berencana pergi ke kampus untuk berjualan.

Hari itu cukup sepi, tak seperti biasanya pelanggan mengerumuni lapaknya. Encep juga sedikit santai sambil mengobrol dengan kawan yang ikut nongkrong di lapaknya. Sedangkan cuaca semakin mendung saja. 

Encep tidak bergegas membereskan dagangannya. Ia hanya mengeluarkan sebgaian barang dan sisanya di dalam tas, sisanya lagi di pajang di besi-besi tempat dagangan.

Tak lama hujan turun, deras bahkan sangat deras. Encep membawa barang-barangnya kesalah satu tempat berteduh. Seperti gazebo namun lebih kecil, entahlah fungsinya untuk apa namun Encep menggunakannya untuk menyelamatkan barang dagangan dari air hujan. 

Letaknya tak jauh dari lokasi Encep membuka lapak, bahkan bersebelahan dengan pintu alternatif keluar masuk kampus.

Belum sempat Encep merapikan barang-barang yang di pajang, angin beserta hujan secara bersamaan menerpa dagangan Encep yang tersisa. Barang dagangannya terhempas dan basah terkena air hujan. Bahkan beberapa diantaranya terendam oleh genangan air. 

Encep panik bukan mai, tanpa pikir panjang ia mencoba menyelamatkan satu persatu barang-barangnya yang terhempas. Namun sayang barang-barangnya sudah basah kuyup, kotor dan kemasannya rusak.

Mendapat kejadian yang seketika itu, Encep semakin panik dan kesal. Tanpa ia sadari barang-barang dagangan yang ia simpan di tas dan diletakan di gazebo kecil tadi rupanya terkena guyuran air hujan yang tertiup angin. Hingga semua barang dagangannya basah kuyup.

Sekujur tubuh Encep basah kuyup. Setelah  mengumpulkan semua barang yang terhempas dan 
terendam air Encep tertegun dan berdiri digazebo kecil yang juga basah saat itu. Pikirannya melayang entah kemana. 

Kepanikannya berubah menadi sesuatu yang menyeramkan dipikirannya. Bayang-bayang akan barang-barang dagangan yang rusak dan harus menanggung kerugian jutaan rupiah terbesit dipikirannya.

Mata Encep menerawang tak pasti, memukul-mukul tangan ke kepalanya, terkadang ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. 

Perasaannya campur aduk, pikirannya tak fokus. Petir dan Guntur yang menggelegar seakan benar-benar di tujukan untuknya. Kerugian benar-benar kerugian yang ada dalam bayangannya.

Dengan tenaga seadanya, Encep bergegas pulang kekosan membawa barang-barangnya yang basah. Sesampainya dikosan ia gelarkan semua barang dagangannya di lantai. 

Kosannya memiliki ruang tengah yang cukup besar, dari pintu masuk hingga ujung pintu dalam ia tumpahkan barang-barangnya. 

Matanya sayu melihat semua barang dagangan yang digelar dilantai basah kuyup, kotor dan kemasan yang sudah tak utuh, raut semangat seakan hilang seketika dan pikirannya benar-benar tak terarah.

Tak ada yang Encep lakukan, ia duduk tersungkur membayangkan berapa banyak barang dagangan yang rusak dan kerugian yang harus di alaminya. Bayang-bayang mengembalikan biaya angsuran kepada pemilik modal mulai perlahan menghampirinya. Encep merasa benar-benar di tampar secara tiba-tiba.

Satu hari, dua hari, satu minggu, bahkan berminggu-minggu Encep diamkan saja barang-barangnya berserakan di lantai. Tak ada yang di sentuhnya, tak ada yang di rapihkannya. Hidupnya mulai tidak teratur, pekerjaannya setiap hari hanya menyendiri, makan, minum, tidur dan begitu terus begitu.

Keuangannya mulai menipis, Encep tak lagi dapat menghasilan pundi-pundi rupiah. Betapa jiwanya tergoncang hebat. Apalagi setelah Encep tahu menanggung kerugian hingga Tujuh Juta dari tragedi tersebut.

Teman satu-satunya saat itu adalah laptop, bermain game, nonton film, dan bermalas-malasan menjadi akivitas barunya. Tak cupuk samapi disana, kuliahnya pun benar-benar terbengkalai total. 

Ia tak ada niat sedikitpun untuk pergi ke kampus. Bahkan hanya sekedar bersosialisasi dengan orang di luar kosannya pun Encep enggan melakukan. 

Kondisi Encep semakin hari semakin tidak membaik, Encep bukan lagi sosok yang bersemangat belajar, bukan  lagi sosok yang gesit dan penuh semangat.

Tingkat frustasi dan stresnya meningkat, di waktu bersamaan  pacar yang ia sayangi meminta untuk putus. Tidak hanya itu tuntutan membayar kosan dan hutang yang harus Encep bayar sebanyak Tujuh Juta pada pemilik modal menjadi beban pikiran yang benar-benar membelenggunya.

“Saya benar-benar down. Kerjaan saya tiap hari hanya bermalas-malasan. Untuk bersosialisasi saja 
saya bener-bener males” tuturnya dengan nada rendah.

Sudah hampir dua bulan Encep tetap tidak membaik. Kamarnya berantakan, cucian dimana-mana, piring dan gelas kotor berserakan di kamarnya. Hidupnya seketika berubah.

Kotak masuk di Handphonenya penuh dengan pesan, beberapa diantaranya pesan dari teman-teman sekelasnya bahkan dari beberapa dosen. Namun semangat Encep unutk kuliah seketika menghilang, ia benar-benar menghilang di bangku kelasnya.

Malam itu Encep mulai membereskan beberapa barang. Ia memilah dan memilih serta mengecek kondisi beberapa barang dagangannya. 

Untunglah, beberapa diantaranya masih bisa diselamatkan, namun tak sedikit yang sudah penuh karat karena di diamkan berbulan-bulan.

Encep berencana untuk bangkit, bangkit dari keterpurukan dan musibah yang menimpanya. Namun tetap saja, setelah sebagian barang Encep pisahkan niatnya untuk berjualan kembali menciut.  

Namun Encep tak bisa terus ada dalam kondisi yang demikian terlalu lama. Uang simpanannya habis, sementara pemilik kosan menagih bayarannya, pemilik modal menagih hutangnya dan perutnya menagih untuk diisi.

Encep mulai menawarkan barang-barang yang masih bisa di selamatkan kepada teman-temannya, beberapa Encep titipkan di toko-toko tempat ia dulu menitipkan barang untuk di jual. 

Beberapa barang yang kemasannya rusak Encep jual dengan harga murah, bahkan beberapa lainnya ia jual dengan setengah harga.

Setidaknya satu hari Encep harus menjual barang satu jenis kepada siapa saja, demi memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhannya untuk makan dan minum. Itu yang ia lakukan beberapa waktu, jika di rasa persediaan uang menipis ia mencari pelanggan melalui temannya.

“entahlah, susah untuk bergerak. Apalagi perasaan disini nih” tuturnya sambil menunjuk kearah dadanya.

Musibah dan Kondisi yang Encep alami tak berani  di adukan pada Ayah dan Ibunya. Bagi Encep saat itu cukup jadi beban sendiri, untunglah orang tuanya masih rutin memberikan uang jajan setiap bulannya.

Namun kriman uang yang dulu terlihat besar,  saat itu menjadi  terlihat kecil dan kurang. Kiriman Satu Juta dari orang tuanya Encep gunakan untuk membayar keperluan dan hutangnya. 

500 ribu Encep gunakan untuk membayar sisa hutang  pada pemilik modal setiap bulannya, 300 ribu ia gunakan untuk membayar kosannya, dan sisanya 200 ribu Ia gunakan untuk keperluannya sehari-hari. Tentu saja itu tidak cukup bagi Encep.

Kondisi yang buruk tersebut tidak membuat Encep mudah bangkit, keseringannya bercengkrama dengan laptop membuatnya menemukan kebiasaan baru yaitu main “Game Online”.

Siang  dijadikan malam, dan malam Ia jadikan siang. Kuliah sudah tak Encep pikirkan, berjualan sudah tak  ia hiraukan. Yang terpenting baginya saat itu bisa makan dan minum mengandalkan uang dari orang tuanya.

Pagi itu di kosan Encep ramai, banyak tamu dan keluarga datang. Namun bukan untuknya, melainkan untuk teman-teman yang saat itu melaksanakan wisuda.

Hari itu juga harusnya Encep menggunakan toga, menerima bunga dan foto bersama Ayah dan Ibunya. Hatinya teriris, jangankan untuk menyelesaikan skripsi, banyak kuliah yang terbengkalian dan banyak yang harus ia susul. Kondisinya jiwa Encep benar-benar terpuruk saat itu.

Lambat laun Encep tak sanggup menghadapi kondisi dirinya sendirian, Ia mulai memberitahukan kedua orang tuanya. Namun apa yang Encep dapatkan? Orang tuanya begitu kecewa, uang transferan yang biasa di kirim satu juta dikurangi jumlahnya menjadi 800 ribu. 

Encep hanya di berikan motivasi untuk bangkit dan bisa menata hidupnya. Terkadang Ayahnya datang mengunjunginya ke kosan, membawakan makanan dari rumah. 

Setidaknya perhatian itu mampu membangkitkan sedikit demi sediit semangat hidupnya.

Hari itu ia sudah rapi, berniat untuk memulai harinya kembali ke kampus. Namun itu hanya bertahan kurang lebih satu minggu saja. Selama Encep kembali kekampus ia benar-benar tidak menemukan semangat belajar, hilang entah kemana.

Ia menghabiskan waktunya kembali di kosan dengan kebiasaan burukya, setiap hari ia main Game Online, pola makan dan tidur kembali tak teratur. 

 Sedangkan barag dagangan sudah habis dan tak ada lagi yang harus dijual, beberapa di antaranya menjadi sampah dan menumpuk di pojok kosannya.

Kondisinya semakin buruk, setiap hari Encep di tagih oleh pemilik modal karena sudah tidak bisa membayar tepat waktu lagi, bahkan menunggak. Begitupun kosan yang selalu menunggak. 

Encep kelimpungan, namun tetap saja kebiasaanna bermain Game Online menjadi kebiasaan dihari-harinya. Seakan  tak ada beban, seakan semuanya dapat di laluinya dengan mudah.

Malam itu Encep di datangi Bapak kosan, ia hanya tertegun dan memohon untuk di berikan waktu tambahan selagi ia tak punya uang. Bapak kosan pun memberinya waktu tambahan, namun Encep teap saja tak bisa memenuhi untuk membayar kosannya hingga batas waktu yang di sepakati.

Tekanan yang baru Encep  sadari sekarang membuatnya terpaksa berpikir. Encep menemukan temannya yang siap menampung selagi Ia tak punya uang, namun sayang sikap Encep seperti bermain petak umpet. 

Encep tak ada di kosan jika bapak kosan sedang di rumah, dan dia akan ke kosan jika bapak kosan kerja. Berkali-kali pemilik kosan datang dan menanyakan keberadaan Encep, namun tak ada yang tahu.

Encep memindahkan beberapa barang-barangnya entah kemana, setiap jam enam pagi saat pemilik kosan sudah berangkat kerja ia datang. Encep kemas beberapa barangnya dan di bawa keluar. Begitu setiap harinya. 

Sedangkan pemilik kosan semakin kesal dengan ulah Encep. Tak ada bahasa ataupun pembicaraan sebelumnya. Pemilik kosan menyangka Encep akan kabur tanpa membayar biaya kosan selama sebulan terakhir.

Saya mah sieun manehna kabur” ujar pemilik kosan bernada tinggi.

Batas kesabaran pemilik kosan rupanya sudah habis. Beberapa barang-barang Encep di pindahkan keluar. Motor, buku, lemari, dan sebagainya.

Malam itu Encep datang kekosan, bertemu dengan pemilik kosan yang sudah memasang wajah marah. Encep meminta maaf dan akan segera meninggalkan kosan. Ia juga meminta maaf tidak bisa membayar kosan di bulan terakhir. 

Meskipun awalnya pemilik kosan marah namun ia mengikhlaskan asalkan Encep dapat membawa barang-barangnya segera.

Hutang Encep kini tinggal empat juta kepada pemilik modal, orang tuanya ikut membantu Encep 
membayar hutang-hutangnya. Kini Encep mulai kembali aktivitas kuliahnya, ia mulai membenahi hidupnya. 

Kini Encep juga dibantu Ayahnya untuk mengajar disalah satu sekolah di daerah Antapani Bandung.

Meskipun kondisi jiwanya belum semuh total, sang ayah terus mendukung dan mendorong Encep untuk bangkit dan menjadi lebih baik.

Bapak mah niti cep, lamu katarima ngajar di ditu tong ngerakeun bapak. Sing bener-bener” suara 
ayah Encep lirih saat keduanya berbincang di kosan.

Pagi sekali Encep sudah rapi. Sepertinya hari itu pertama kali lagi ia mandi pagi. Menggunakan kemeja hitam dan celana bahan abu-abu. 

Rambutnya disisir rapi, sedikit bersih dari biasanya. Ia duduk di depan pintu keluar sambil menyemir sepasang sepatu kulitnya yang sudah penuh abu.

“doakan saya, saya mau testing buat ngajar” ujarnya sambil tersenyum.

Perjalanan seorang Encep memang tidak mudah untuk menemukan titik untuk bangkit. Dorongan dari kedua orang tuanya sangat berpengaruh, terutama sosok ayah di mata Encep. Saat ini Encep pun mulai mengikrarakan keinginannya untuk berubah dan merajut hidupnya lebih baik. 

Perlahan namun  pasti itu yang kini jadi komitmennya. Ia sadar apa yang sudah di lakukan dan dilaluinya beberapa waktu yang lalu harus menjadi pelajaran yang ia ambil hikmahnya. 

Ia sadar bahwa Tuhan sedang mengujinya, Ia sadar bahwa hidup memang sejatinya adalah pilihan dan perjuangan.

“Saya harus bangkit, saya harus mulai benahi hati saya. Saya dapat tawaran mengajar dari link Bapak sih, tapi mudah-mudahan saja jadi jalan terbaik untuk saya” Ujar Encep lirih.

0 comments:

Post a Comment